Senin, 07 Maret 2016

Tulisan 1_Hukum Adat Suku Sakai



Suku  Sakai
Sakai merupakan salah satu suku yang mendiami kawasan pedalaman Riau di Pulau Sumatera. Nenek moyang Suku Sakai diyakini berasal dari Pagaruyung, sebuah kerajaan Melayu yang pernah ada di Sumatera Barat. Dahulu, Suku Sakai memiliki pola kehidupan yang masih nomaden, berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain.
Kata Sakai sendiri konon merupakan singkatan dari Sungai, Kampung, Anak, Ikan. Hal ini memiliki makna bahwa mereka adalah orang-orang yang hidup di sekitar sungai dan menggantungkan hidup mereka pada hasil kekayaan sungai seperti ikan. Orang Sakai dianggap sebagai salah satu masyarakat terasing di Provinsi Riau, dalam arti belum terjangkau oleh kegiatan pengembangan dan kemajuan budaya seperti masyarakat lain. Mereka berdiam di beberapa lokasi pemukiman kembali (resetlement) di sekitar Kabupaten Bengkalis, seperti di Kandis, Balai Pungut, Kota Kapur, Minas, Duri, Sungai Siak dan Sungai Apit bagian hulu.
Suku Sakai adalah orang-orang yang tergolong dalam ras Veddoid. Umumnya mereka memiliki ciri-ciri fisik berkulit cokelat agak gelap dengan rambut keriting atau berombak. Seperti kebanyakan suku asli lainnya, suku Sakai punya sejumlah tradisi adat. Mereka umumnya memiliki upacara atau ritual tersendiri untuk kelahiran, pernikahan, maupun kematian atau pemakaman. Kebanyakan orang Sakai menganut kepercayaan animisme dan meyakini adanya ‘antu’ atau makhluk gaib.
Seiring perkembangan zaman, sebagian suku Sakai mulai memeluk agama lain seperti Islam dan Kristen, hanya saja kebiasaan mereka terhadap hal-hal yang berbau magis kadang masih mereka lakukan. Masyarakat ini umumnya masih melakukan kegiatan mata pencaharian berburu dan meramu di hutan-hutan atau menangkap ikan di sungai-sungai. Sebagian kecil telah mulai bercocok tanam di ladang. Selain itu ada pula yang meramu hasil hutan seperti rotan, damar, dan menebang kayu untuk ditukar dengan keperluan sehari-hari dari pedagang perantara.
Mereka tinggal di pondok-pondok berlantai yang sederhana dan mudah dibongkar, karena sewaktu-waktu mereka siap untuk pindah ke tempat lain. Wadah-wadah untuk keperluan hidupnya kebanyakan dibuat dari anyaman rotan dan pandan, tempat air dari labu dan bambu kering. Mereka belum mengenal wadah dari tanah liat (gerabah), kecuali diperoleh dari penduduk desa yang lebih maju. Peralatan besi, seperti mata tombak dan parang diperoleh dari pedagang Melayu, sebelumnya mata tombak dibuat dari kayu yang keras dan kuat. Alat lain untuk berburu dan menangkap binatang adalah jerat dan perangkap.
Sistem kekerabatan mereka kurang jelas, tetapi mungkin cenderung parental atau bilateral. Rumah tangganya terbentuk dari kesatuan beberapa keluarga inti neolokal. Pemukiman mereka terbentuk dari hunian beberapa keluarga inti, yang biasanya dipimpin oleh seorang tokoh senior yang mereka sebut batin. Setiap masalah dalam komuniti mereka putuskan dengan musyawarah dan mufakat.
Salah satu benda tradisional peninggalan Suku Sakai adalah timo. Timo merupakan wadah yang terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Bagian sisi wadah diberi batas berbentuk lingkaran yang terbuat dari rotan lalu diberi tali yang juga terbuat dari rotan. Timo digunakan oleh masyarakat Suku Sakai sebagai wadah untuk menampung madu.
Kebudayaan Suku Sakai yang bercorak agraris juga ditandai dengan alat-alat yang berfungsi sebagai alat pertanian seperti gegalung galo. Alat yang terbuat dari bambu dan batang pepohonan ini berfungsi sebagai alat penjepit ubi manggalo untuk diambil sari patinya. Sebelumnya, ubi manggalo yang telah dikupas dikumpulkan di dalam wadah yang disebut tangguk. Menariknya, Suku Sakai juga memproduksi pakaian yang bahannya seratus persen terbuat dari alam. Pakaian orang-orang suku ini dahulu ketika masih hidup dalam sistem nomaden terbuat dari kulit kayu. Pakaian inilah yang digunakan Suku Sakai untuk bertahan hidup selama berpindah-pindah tempat.
Di dalam Suku Sakai, rumah adat penting untuk menjadi simbol pelestarian kebudayaan dan tradisi suku Sakai. Rumah adat yang berdiri di atas lahan sekitar 1 hektare itu sekaligus mencerminkan perubahan yang harus dihadapi suku Sakai kini. Balok penyangga rumah adat berjenis panggung tersebut sudah tidak terbuat dari kayu ulin, tapi menggunakan besi. Sebab, kayu ulin mulai langka. Di sekitar kompleks rumah adat itu pun, warga suku Sakai telah membangun rumah-rumah permanen berbahan kayu. Bukan lagi rumah panggung seperti dulu.
Hutan ulayat yang diwarisi suku Sakai di Keluarga Bathin Sobanga yang dia pimpin sekarang tinggal 300 hektare. Padahal, sebelumnya luasnya mencapai ribuan hektare. Agar tidak semakin berkurang untuk perkebunan sawit atau kegiatan industri lain, mereka menerapkan hukum adat tegas. Hukum adat itu berbeda untuk pelaku perusakan atau penebangnya dari internal suku Sakai dan orang luar.
Jika ada warga suku Sakai yang kedapatan menebang pohon di tanah ulayat, mereka akan diganjar hukuman menanam pohon kembali. Pelaku penebangan pohon juga didenda uang setara dengan perhiasan emas dengan berat tertentu.Terkadang mereka menggunakan kotak sirih dari kayu seukuran boks tisu makan untuk menakar emas yang harus dibayar. Semakin tua usia pohon yang ditebang, yang otomatis ukuran kayunya kian besar, denda emas yang harus dibayar pun semakin banyak. Penentu akhir besaran denda itu adalah rapat adat. Nah, emas tersebut lantas dituang, ditimbang, dan diuangkan. Jika dirupiahkan, sanksi menebang kayu yang sudah berumur tua bisa mencapai puluhan sampai ratusan juta rupiah.
Jika yang menebang pohon adalah orang di luar warga suku Sakai maka akan diusir dan jika perlu akan bunuh. Beratnya sanksi yang harus ditanggung itu terbukti mujarab. Sampai sekarang, tidak ada orang yang berani menebang pohon di hutan. Bahkan, untuk sekadar mengambil kayu untuk renovasi rumah adat pun, warga suku Sakai agak berkeberatan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang ada di Suku Sakai sangatlah tegas. Mereka melakukan ini semua demi menjaga keutuhan alam yang ada di tanah mereka. Hukum adat yang tegas seperti ini patut di contoh agar Indonesia tetap utuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar