Suku Sakai
Sakai
merupakan salah satu suku yang mendiami kawasan pedalaman Riau di Pulau
Sumatera. Nenek moyang Suku Sakai diyakini berasal dari Pagaruyung, sebuah
kerajaan Melayu yang pernah ada di Sumatera Barat. Dahulu, Suku Sakai memiliki
pola kehidupan yang masih nomaden, berpindah-pindah dari satu kawasan ke
kawasan lain.
Kata
Sakai sendiri konon merupakan singkatan dari Sungai, Kampung, Anak, Ikan. Hal
ini memiliki makna bahwa mereka adalah orang-orang yang hidup di sekitar sungai
dan menggantungkan hidup mereka pada hasil kekayaan sungai seperti ikan. Orang Sakai dianggap sebagai
salah satu masyarakat terasing di Provinsi Riau, dalam arti belum terjangkau
oleh kegiatan pengembangan dan kemajuan budaya seperti masyarakat lain. Mereka
berdiam di beberapa lokasi pemukiman kembali (resetlement) di sekitar Kabupaten
Bengkalis, seperti di Kandis, Balai Pungut, Kota Kapur, Minas, Duri, Sungai
Siak dan Sungai Apit bagian hulu.
Suku Sakai adalah
orang-orang yang tergolong dalam ras Veddoid. Umumnya mereka memiliki ciri-ciri
fisik berkulit cokelat agak gelap dengan rambut keriting atau berombak. Seperti
kebanyakan suku asli lainnya, suku Sakai punya sejumlah tradisi adat. Mereka
umumnya memiliki upacara atau ritual tersendiri untuk kelahiran, pernikahan,
maupun kematian atau pemakaman. Kebanyakan orang Sakai menganut kepercayaan
animisme dan meyakini adanya ‘antu’ atau makhluk gaib.
Seiring perkembangan
zaman, sebagian suku Sakai mulai memeluk agama lain seperti Islam dan Kristen,
hanya saja kebiasaan mereka terhadap hal-hal yang berbau magis kadang masih
mereka lakukan. Masyarakat ini umumnya masih melakukan kegiatan mata
pencaharian berburu dan meramu di hutan-hutan atau menangkap ikan di
sungai-sungai. Sebagian kecil telah mulai bercocok tanam di ladang. Selain itu
ada pula yang meramu hasil hutan seperti rotan, damar, dan menebang kayu untuk
ditukar dengan keperluan sehari-hari dari pedagang perantara.
Mereka tinggal di pondok-pondok berlantai yang sederhana dan
mudah dibongkar, karena sewaktu-waktu mereka siap untuk pindah ke tempat lain.
Wadah-wadah untuk keperluan hidupnya kebanyakan dibuat dari anyaman rotan dan
pandan, tempat air dari labu dan bambu kering. Mereka belum mengenal wadah dari
tanah liat (gerabah), kecuali diperoleh dari penduduk desa yang lebih maju.
Peralatan besi, seperti mata tombak dan parang diperoleh dari pedagang Melayu,
sebelumnya mata tombak dibuat dari kayu yang keras dan kuat. Alat lain untuk
berburu dan menangkap binatang adalah jerat dan perangkap.
Sistem kekerabatan mereka kurang jelas, tetapi mungkin
cenderung parental atau bilateral. Rumah tangganya terbentuk dari kesatuan
beberapa keluarga inti neolokal. Pemukiman mereka terbentuk dari hunian
beberapa keluarga inti, yang biasanya dipimpin oleh seorang tokoh senior yang
mereka sebut batin. Setiap masalah dalam komuniti mereka putuskan dengan
musyawarah dan mufakat.
Salah satu benda
tradisional peninggalan Suku Sakai adalah timo. Timo merupakan wadah yang
terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Bagian sisi wadah diberi
batas berbentuk lingkaran yang terbuat dari rotan lalu diberi tali yang juga
terbuat dari rotan. Timo digunakan oleh masyarakat Suku Sakai sebagai wadah
untuk menampung madu.
Kebudayaan Suku Sakai
yang bercorak agraris juga ditandai dengan alat-alat yang berfungsi sebagai
alat pertanian seperti gegalung galo. Alat yang terbuat dari bambu dan batang
pepohonan ini berfungsi sebagai alat penjepit ubi manggalo untuk diambil sari
patinya. Sebelumnya, ubi manggalo yang telah dikupas dikumpulkan di dalam wadah
yang disebut tangguk. Menariknya, Suku Sakai juga memproduksi pakaian yang
bahannya seratus persen terbuat dari alam. Pakaian orang-orang suku ini dahulu
ketika masih hidup dalam sistem nomaden terbuat dari kulit kayu. Pakaian inilah
yang digunakan Suku Sakai untuk bertahan hidup selama berpindah-pindah tempat.
Di
dalam Suku Sakai, rumah adat penting untuk menjadi simbol pelestarian
kebudayaan dan tradisi suku Sakai. Rumah adat yang berdiri di atas lahan
sekitar 1 hektare itu sekaligus mencerminkan perubahan yang harus dihadapi suku
Sakai kini. Balok penyangga rumah adat berjenis panggung tersebut sudah tidak
terbuat dari kayu ulin, tapi menggunakan besi. Sebab, kayu ulin mulai langka.
Di sekitar kompleks rumah adat itu pun, warga suku Sakai telah membangun
rumah-rumah permanen berbahan kayu. Bukan lagi rumah panggung seperti dulu.
Hutan
ulayat yang diwarisi suku Sakai di Keluarga Bathin Sobanga yang dia pimpin
sekarang tinggal 300 hektare. Padahal, sebelumnya luasnya mencapai ribuan
hektare. Agar tidak semakin berkurang untuk perkebunan sawit atau kegiatan
industri lain, mereka menerapkan hukum adat tegas. Hukum adat itu berbeda untuk
pelaku perusakan atau penebangnya dari internal suku Sakai dan orang luar.
Jika
ada warga suku Sakai yang kedapatan menebang pohon di tanah ulayat, mereka akan
diganjar hukuman menanam pohon kembali. Pelaku penebangan pohon juga didenda
uang setara dengan perhiasan emas dengan berat tertentu.Terkadang mereka
menggunakan kotak sirih dari kayu seukuran boks tisu makan untuk menakar emas
yang harus dibayar. Semakin tua usia pohon yang ditebang, yang otomatis ukuran
kayunya kian besar, denda emas yang harus dibayar pun semakin banyak. Penentu
akhir besaran denda itu adalah rapat adat. Nah, emas tersebut lantas dituang,
ditimbang, dan diuangkan. Jika dirupiahkan, sanksi menebang kayu yang sudah
berumur tua bisa mencapai puluhan sampai ratusan juta rupiah.
Jika
yang menebang pohon adalah orang di luar warga suku Sakai maka akan diusir dan
jika perlu akan bunuh. Beratnya sanksi yang harus ditanggung itu terbukti
mujarab. Sampai sekarang, tidak ada orang yang berani menebang pohon di hutan.
Bahkan, untuk sekadar mengambil kayu untuk renovasi rumah adat pun, warga suku
Sakai agak berkeberatan.
Dari
sini dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang ada di Suku Sakai sangatlah tegas.
Mereka melakukan ini semua demi menjaga keutuhan alam yang ada di tanah mereka.
Hukum adat yang tegas seperti ini patut di contoh agar Indonesia tetap utuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar